Jumat (28/1) dini hari Erna (38) mendapat telepon dari ibunya soal feri pengangkut rombongan pembantu yang terbakar di Selat Sunda. Sang ibu mendengar kabar itu dari Andari (45), anggota rombongan.
”Selain memberi tahu kapal terbakar, Pak Andari meminta sama ibu mohon keselamatan,” kata Erna di Masjid Jamiasy Syifa, Rumah Sakit Krakatau Medika, Cilegon, Banten, Jumat (28/1). Masjid menjadi tempat penampungan sementara korban KMP Laut Teduh 2
Erna dan ibunya tinggal di Depok, Jawa Barat. Ibunya adalah penyalur pembantu. Dalam feri yang terbakar itu ada 18 orang rombongan pembantu yang dikelola orangtua Erna. Mereka berangkat dari Depok hendak pulang ke Lampung.
”Dari 18 orang, seorang meninggal, yakni Pak Andari. Seorang lagi masih hilang, Pak Kasbari,” kata Jejen (65), seorang anggota rombongan itu.
Alpin (25), anggota lainnya, menuturkan, kala itu langit gelap, hujan turun, dan ombak
Dalam kondisi setengah tidur, Jejen mencium bau asap karet. Dia mendengar teriakan, ”Kebakaran! Kebakaran!”
”Di dek kendaraan di bagian bawah kapal ada api membakar satu kendaraan. Asap hitam memenuhi ruang parkir. Beberapa kali terdengar ledakan seperti ledakan ban pecah,” ujar Jejen.
Rombongan kemudian mencari pelampung dan berkumpul sebelum terjun dari kapal. Alpin dan Ntum, rekan sekerja Jejen, memegang lengan kiri dan kanan Jejen. Alpin menangis histeris dan menolak melompat karena ombak tinggi, angin kencang, dan langit gelap.
Alpin, Jejen, dan Ntum berpelukan, lalu terjun ke air karena lantai besi kapal memanas dan menyakiti telapak kaki mereka. Di laut, mereka terlepas. Jejen mencari Ntum dan Alpin. Ketiganya kembali berangkulan dalam ombak besar.
”Saya gugup karena Alpin dan Ntum merangkul leher saya kuat-kuat hingga saya hampir tenggelam,” ungkap Jejen.