Salin Artikel

Curhat Petani Porang Madiun, Bertahan di Tengah Hancurnya Harga hingga Ancang-ancang Jual Tanah (1)

Betapa tidak, harga panen porang basah di pasaran kini hanya Rp 2.000 per kilogram. 

Padahal tahun sebelumnya, petani bisa menjual porang yang dipanen dalam bentuk umbi basah sekitar Rp 10.000 hingga Rp 14.000 per kilogram.

Namun sejak pertengahan tahun 2021, harga porang makin anjlok.

Beberapa petani porang  mengaku pasrah. Mereka tak bisa berbuat banyak.

Terlebih petani bertanam porang dengan modal pinjam dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) bank milik pemerintah.

Para petani pun siap menjual tanah beserta hasil panennya bila pihak bank selaku pemberi modal menagih utang yang pembayarannya jatuh tempo mulai bulan depan.

“Katakanlah kami bisa mendapatkan panen tertinggi sekitar 10 ton. Kalau sepuluh ton itu dijual maka harganya hanya Rp 20 juta. Itu belum termasuk upah tenaga kerja. Untuk kembalikan pinjaman kami harus menjual hasil panen sekaligus tanahnya,” kata Agus Wanto, Ketua LMDH Podan Wilis, Desa Durenan, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, Jawa Timur kepada Kompas.com, Rabu (6/7/2022).

Untuk menanam porang, kata Agus, sekitar 70-an anggotanya kelompoknya rata-rata mengandalkan pinjaman KUR dari bank milik pemerintah.

Rata-rata anggotanya mendapatkan pinjaman sebesar Rp 50 juta tahun lalu.

Dari modal itu, kemudian dibelikan bibit porang sebanyak dua ton dan mencukupi biaya pembersihan lahan hingga pemupukan.

Dengan demikian, bila dipanen saat ini maka petani akan mengalami kerugian yang besar lantaran hanya bisa terjual Rp 20 juta.

Hitungannya, utang petani sebesar Rp 50 juta sementara panen hanya mendapatkan hasil Rp 20 juta. Maka petani mengalami minus Rp 30 juta.

“Kalau kami panen sekarang akan rugi. Apalagi petani yang modalnya dari KUR,” tutur Agus.

Saat ini, harga porang di tingkat petani masih berkisar Rp 2.000 per kilogramnya. Lantaran harga hancur, banyak petani yang memilih tidak memanen porang tahun ini.

Petani akan memanennya bila harganya sudah membaik. Terlebih penundaan panen tidak akan berpengaruh pada kualitas porang .

“Ini waktunya panen. Dan hasil panennya sebenarnya bagus.Kami menunggu harga baik dulu baru panen,” kata Agus.

Hanya saja petani kebingungan dengan pengembalian pinjaman yang jatuh temponya mulai bulan depan.

“Saya sudah dikasih info dari bank bulan depan harus mengembalikan pinjaman plus bunganya ke bank,” tutur Agus.

Agus mengatakan sampai saat ini belum ada kebijakan dari pihak bank yang memberikan keringanan bagi petani di tengah merosotnya harga porang di pasaran.

Bila tidak ada keringanan maka petani akan memilih transmigrasi untuk melunasi hutang di bank.

“Sampai saat ini belum ada kabar kebijakan keringanan dari banknya. Mungkin kalau semua harus melunasi enggak solusi. Bisa jadi petani memilih transmigrasi. Karena untuk bayar hutang di bank kami harus menjual hasil panen dengan tanahnya baru bisa lunas,” kata Agus.


Agus berharap pemerintah turun tangan untuk menyelesaikan persoalan harga porang yang jatuh.

Setidaknya harga porang bisa naik kisaran Rp 6.000 hingga Rp 6.500 baru petani bisa mengembalikan KUR dan mendapatkan sedikit keuntungan.

Ia mengingatkan, saat itu pemerintah yang mendorong petani untuk menanam porang agar dapat meningkatkan kondisi ekonomi petani.

Bahkan pemerintah saat itu memfasilitasi petani dapat menanam di lahan Perhutani serta mendapatkan pinjaman bunga rendah dari bank milik negara.

“Kami minta pemerintah turun tangan untuk mengendalikan itu. Terus kedua, dari pihak perbankan ada solusi atau keringanan atau seperti itu. Paling tidak ada solusi seperti keringanan kepada petani,” imbuh Agus.

Untuk bertahan dan memenuhi kebutuhan harian, petani porang di Gemarang banyak mengandalkan dari hasil panen cengkeh.

Kendati demikian hasilnya tidak maksimal lantaran kondisi cuaca yang tidak mendukung.

Senada dengan Agus, Warsito, Ketua KPH Lestari Makmur Desa Ngranget, Kecamatan Dagangan mengeluhkan harga porang yang tak kunjung membaik usai China menutup keran ekspor sejak pertengahan tahun lalu.

Bahkan harga porang di tingkat petani pernah jatuh hingga Rp 1.800 perkilogram.

Padahal saat itu, untuk membeli bibit petani mengeluarkan ongkos yang mahal. Kendati demikian, banyak petani yang nekat bertanam porang saat itu lantaran kepincut dengan harga panennya yang tinggi.

Untuk menanam porang, kata Warsito, selain meminjam di bank, beberapa petani nekat menjual kendaraan hingga hewan ternak.

Setelah hampir setahun menam porang, harga komoditas unggulan itu kini jatuh.

Lantaran harga masih buruk, banyak petani di kampung halamannya memilih tak memanen terlebih dahulu. Para petani menunggu harga porang membaik di pasaran baru melakukan panen raya.

“Kalau kepepet yang terpaksa dibongkar karena kebutuhan mendesak. Petani tidak punya pilihan sehingga terpaksa menjual hasil panenya. Petani pemula saat ini banyak mengeluh membeli bibit sudah mahal sementara saat panen harganya drop. Itu yang menjadi ketimpangan,” demikian Warsito. 

https://surabaya.kompas.com/read/2022/07/08/100117678/curhat-petani-porang-madiun-bertahan-di-tengah-hancurnya-harga-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke