Salin Artikel

25 Tahun Putus Komunikasi, Subaidah Terima Jenazah Ibunya dari Malaysia

Wakiah, ibunya, meninggal dunia di Malaysia, Senin (9/5/2022). Jenazah Wakiah sampai di rumahnya tiga hari kemudian.

Kepada Kompas.com, Subaidah menceritakan, ibunya diberangkatkan bekerja ke Malaysia oleh seorang sponsor saat dirinya duduk di kelas tiga SMP.

Ibunya berangkat membawa nomor telepon rumah milik seorang bidan tetangga mereka agar nantinya tetap bisa berkomunikasi dengan keluarga.

Tidak disangka, sponsor itu meminta dan membuang catatan nomor telepon itu. Sponsor itu  kemudian menguasai gaji ibunya hingga sepuluh tahun lamanya.

"Diminta gajinya ibu, bilangnya dikirim ke Indonesia ke anaknya, tapi enggak dikirimi. Enggak tahu dikirimin ke mana. Intinya ibu itu ditipu, ibu saya kan buta huruf," kata Subaidah.

Setelah 15 tahun, Wakiah masih juga ditipu orang lain lagi hingga tak pernah mendapatkan uang.

Keadaan itu membuatnya tidak bisa mengirimkan uang ke Banyuwangi.

Subaidah sendiri tidak memiliki cara untuk menghubungi ibunya yang pekerja migran Indonesia (PMI) itu, bahkan sampai dirinya menikah dan memiliki anak.


Dia sempat berkomunikasi dengan ibunya melalui panggilan video. Namun Wakiah dilarang berbicara, dan hanya bisa melihat anak dan cucunya sambil menangis.

Itu kesempatan pertama dan terakhir mereka berkomunikasi, karena kondisi Wakiah semakin memburuk hingga meninggal dunia empat hari kemudian.

"Bayangkan, saya tidak bisa melihat dan berkomunikasi sama orangtua saya selama 25 tahun, pulang sudah meninggal. Bayangkan bagaimana rasanya hati saya," ucap Subaidah sambil terisak.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Banyuwangi Agung Subastian mengatakan, pemberangkatan PMI non prosedural masih banyak terjadi.

Padahal dengan pemberangkatan nonprosedural, mereka tidak terdata pemerintah dan rentan dieksploitasi serta ditipu seperti Wakiah.

Kerentanan itu semakin besar ketika pekerja migran telah berusia lanjut (lansia), tidak terampil menggunakan gawai, dan kesulitan mengakses alat komunikasi.

Biasanya pekerja migran pulang dalam kondisi meninggal karena tidak memiliki akses komunikasi, entah kehilangan nomor telepon rumah atau memang dilarang majikan.

Sebagian lagi memilih tetap bekerja di luar negeri walau telah lanjut usia, karena tidak ada kerabat di kampung halaman, hingga dia meninggal di sana.

"Kalau yang pengaduan ke kami, yang sakit parah dan meninggal rata-rata para lansia," kata Agung, Sabtu.


Menurutnya, pemerintah telah mengupayakan memberikan pelayanan atau bantuan pada para pekerja migran, misalnya dengan aplikasi Peduli WNI.

Namun pelayanan mereka belum bisa menjangkau seluruh pekerja migran lansia yang kerap membutuhkan perhatian lebih banyak.

Solidaritas sesama pekerja migran justru yang sering membantu mereka untuk penampungan, patungan perawatan kesehatan, dan biaya kepulangan.

Demikian juga yang terjadi pada Wakiah, yang mendapatkan pendampingan dari komunitas pekerja migran Serantau di Malaysia selama di rumah sakit maupun kepulangan jenazah.

"Memang teman-teman di sana sangat solid ya. Biasanya untuk pembiayaan dan lain sebagainya, itu ditanggung solidaritas teman-teman yang ada di sana, kalau pas ada kawan-kawan yang kesusahan," kata Agung lagi.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/05/15/165405178/25-tahun-putus-komunikasi-subaidah-terima-jenazah-ibunya-dari-malaysia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke