Salin Artikel

Melihat Tradisi Khataman Kitab Kuning di Ponpes Raudlatul Ulum Malang Selama Ramadhan

Di mushala, mereka mencari tempat duduk dan membuka buku dengan kertas kuning yang berisi tulisan Arab itu.

Tak lama berselang, seorang guru yang biasa dipanggil kiai oleh para santri, menempati tempat yang disediakan di depan mushala, lengkap dengan meja lesehan dan kitab di atasnya.

Kiai mulai membaca kitab berbahasa Arab itu, lalu diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Terlihat dengan cekatan para santri menuliskan terjemah bahasa Jawa yang dirapal gurunya.

Sesekali, kiai tersebut menerangkan maksud dari tulisan arab yang dibaca. Begitulah, kegiatan itu dilakukan di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I rutin setiap selesai shalat Asar berjemaah, selama Ramadhan.

Kegiatan itu biasa disebut dengan khataman mengaji kitab kuning. Artinya satu kitab akan dibaca dan diterjemahkan dengan target selesai selama Ramadhan.

Salah satu guru (ustaz) Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I, Abdul Rofik mengatakan, khataman mengaji kitab kuning itu tidak hanya dilaksanakan usai shalat ashar, tetapi sepanjang hari, khusus selama Ramadhan ini.

"Mungkin hanya berhenti istirahat beberapa waktu saja, ketika shalat lima waktu, dan ketika tarawih. Selebihnya mengaji terus," ungkap Abdul saat ditemui, Sabtu (9/4/2022).

Kitab yang dibaca pun berbeda-beda dalam setiap waktu. Kiai yang membaca kitab juga berganti-ganti, bergiliran dari keluarga pengasuh Pondok Pesantren.

Menurut Rofik, tidak semua santri yang ikut dalam kegiatan khataman mengaji kitab itu. Kegiatan itu hanya diikuti santri yang berasal dari luar Pulau Jawa.

"Karena mereka tidak mudik selama hari libur bulan Ramadhan ini. Sehingga untuk mengisi waktu luang bagi santri yang tidak mudik, pondok pesantren menggelar kegiatan khataman mengaji kitab kuning tersebut," bebernya.

"Kegiatan semacam ini, tidak hanya dilaksanakan pada bulan Ramadhan kali ini saja, tapi rutin setiap bulan Ramadhan," imbuhnya.

Biasanya, khataman kitab kuning itu akan selesai sebelum Idul Fitri. Setelah Idul Fitri, santri yang mudik akan kembali ke ponpes. Mereka mengaji dan sekolah seperti biasa, seperti sebelum Ramadhan.

"Jumlah total santri yang tinggal di sini, kalau hari normal atau tidak libur sebanyak 423 santri laki-laki dan 370 santri perempuan," katanya.

"Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Seperti Kalimantan, Pulau Madura, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Jember," sambungnya.


Sementara itu, salah satu Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I, KH Nasihuddin Khozin menyampaikan, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I itu mempunyai sejarah panjang, hingga diminati santri dari berbagai daerah.

Pondok Pesantren itu pertama kali didirikan seorang kiai yang berasal dari Kabupaten Sampang, Jawa Timur, KH Yahya Sabrowi pada 1959.

Namun, jauh sebelum tahun tersebut, tepatnya sebelum masa kemerdekaan, KH Yahya Sabrowi telah menggagas kegiatan pendidikan agama tersebut bagi warga sekitar.

"Gagasan itu dimulainya dengan mengajar pemuda-pemuda di kawasan Desa Ganjaran ini," tuturnya.

Pada 1948, Yahya Sabrawi merintis lembaga pendidikan berbasis pondok pesantren yang dinamakan Raudlatul Ulum.

"Namun, ketika terjadi agresi militer, tokoh-tokoh, KH Yahya Sabrawi sempat mengungsi ke Madura selama dua tahun. Setelah memasuki tahun ketiga beliau pulang ke Malang dan mulai mempersiapkan rencana mendirikan lembaga pendidikan agama lagi," kata Nasihuddin saat ditemui, Kamis (7/4/2022).

Selama kembali ke Malang, KH Yahya Sabrawi tetap bertekad untuk mendirikan pondok pesantren, meski dengan kemampuan finansial dan fasilitas ala kadarnya.

"Baru pada 1959, mulailah dibangun bangunan-bangunan gubuk-gubuk sebagai tempat tinggal santri. Tahun itulah kemudian dijadikan penanda berdirinya Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I," terangnya.

Memasuki 1970-an, Pondok Raudhatul Ulum I mulai membangun pendidikan formal yang mula-mula dari jenjang tsanawiyah, aliyah, lalu ibtidaiyah.

"Gagasan pendidikan formal di pesantren ini merupakan yang pertama dibanding pondok pesantren lain di Kabupaten Malang. Hingga akhirnya, seiring berjalannya waktu beliau juga mendirikan perguruan tinggi," terangnya.

Seiring berjalannya waktu, keberadaan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I tersiar ke berbagai daerah melalui santri dan alumninya. Hingga, jumlah santri yang belajar agama ke sana pun lambat laun semakin banyak.

Kini, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum sudah memiliki cabang berjumlah enam lembaga di Desa Ganjaran, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

"Cabang-cabang itu semuanya dikelola oleh saudara kandung dan saudara ipar KH Yahya Sabrawi," ujarnya.

Salah satu ikon yang masih tersisa di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I itu, yakni bangunan kamar tempat tinggal santri tidak mengalami perubahan sejak dulu.

"Jumlah kamar tetap sama sebanyak 54 kamar. Saat ini, kami sedang proses pembangunan menambah kamar santri," jelasnya.

Santri jebolan pondok pesantren banyak yang menjadi tokoh di berbagai bidang. Salah satu tokoh alumni pondok pesantren itu yaitu Bupati Malang, HM Sanusi.

"Selain itu, banyak juga alumni yang menjadi tokoh agama di daerah masing-masing. Bahkan ada juga yang berhasil mendirikan Pondok Pesantren dengan nama yang sama, yakni Raudlatul Ulum," jelas Nasihuddin.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/04/10/102259978/melihat-tradisi-khataman-kitab-kuning-di-ponpes-raudlatul-ulum-malang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke