Salin Artikel

"Berulang Kali Kami Minta Perlindungan Usaha ke Pemerintah, Sampai Hari Ini Tidak Ada Keberpihakan Nyata..."

Pemasangan ratusan spanduk dengan foto Presiden kedua Indonesia Suharto yang tersenyum itu merupakan respons atas penurunan spanduk yang dilakukan polisi, TNI, dan camat, di Kecamatan Nglegok.

Di bagian atas spanduk, tercetak dengan huruf kapital: "Peternak Telur Rakyat. Kami Sudah Menyerah". Di bawahnya, bidang spanduk dibagi dua.

Sebuah bidang terpampang foto Presiden kedua Indonesia Suharto sedang tersenyum. Lalu tertulis kebijakan era Order Baru yang melarang perusahaan besar ikut memproduksi telur ayam.

Pada bidang lainnya terdapat gambar ayam petelur dengan teks bertuliskan: "Pak Jokowi kami pasrahkan usaha kami kepadamu. Kami sudah tidak sanggup lagi bersaing dengan integrator".

Integrator adalah sebutan untuk perusahaan besar dengan lini utama usaha di bidang penyediaan anak ayam (DOC) dan konsentrat pakan ternak.

Pengurus Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) Suroto mengatakan, pemasangan ratusan spanduk merupakan respons atas penurunan satu spanduk yang dipasang peternak ayam petelur di wilayah Kecamatan Nglegok pada Selasa (15/2/2022).

Menurut Suroto, penurunan spanduk itu telah memancing solidaritas peternak ayam petelur skala kecil menengah karena kenyataan sulitnya usaha yang mereka hadapi hari ini.

"Berulang kali kami meminta perlindungan usaha ke pemerintah, tapi kenyataannya sampai hari ini tidak ada keberpihakan nyata dari pemerintah kepada peternak rakyat," ujar Suroto di Blitar, Jumat (18/2/2022).

Saat ini, kata dia, harga pakan unggas siap pakai yang terdiri dari campuran jagung, bekatul, dan konsentrat, Rp 6.700 per kilogram.

Dengan harga tersebut, ujarnya, harga keekonomian telur di tingkat peternak seharusnya paling murah Rp 21.000 per kilogram.

"Kenyataannya, harga telur di kandang peternak hanya Rp 17.000 per kilogram. Ini sudah ada kenaikan sedikit dua hari ini. Sebelumnya hanya Rp 15.500 per kilogram sejak Desember," jelas pria yang pernah ditangkap karena membentangkan poster ke arah Presiden Joko Widodo itu.

Bantah bandingkan Suharto dan Jokowi

Suroto menolak peternak ayam Blitar disebut membandingkan Suharto dan Presiden Jokowi terkait kebijakan budidaya ayam petelur.

Namun, Suroto tidak membantah kebijakan saat Orde Baru dengan tegas memberikan keberpihakan kepada peternak ayam skala kecil atau yang mereka sebut dengan peternak rakyat.

"Di sebelah ada foto Pak Harto tapi di sebelahnya lagi bukan foto Pak Jokowi, tapi foto ayam petelur. Jadi bukan membandingkan," katanya.


Ia mengeklaim, di era Orde Baru pihak integrator sama sekali dilarang ikut masuk ke pembudidayaan ayam petelur dengan tujuan memproduksi telur.

Pada masa itu, ujarnya, produksi telur dengan pembudidayaan ayam petelur diserahkan kepada peternak rakyat.

"Dan kalau tidak salah waktu itu satu peternak hanya dibatasi populasi ayamnya maksimal 5.000 ekor," ujarnya.

Sejak era reformasi, tambah Suroto, pelaku usaha besar diperbolehkan masuk ke pembudidayaan ayam petelur untuk memproduksi telur tanpa adanya batasan populasi. Sehingga satu peternak dengan modal besar dapat memiliki ayam hingga 1 juta ekor bahkan lebih.

"Jadi kalau pemerintah katakan saat ini terjadi kelebihan populasi, menurut kami memang benar. Tapi yang paling dirugikan dalam situasi ini peternak rakyat yang kecil modalnya," kata dia.

Keadaan makin para, kata dia, karena integrator diizinkan membudidayakan ayam petelur.

Suroto menambahkan, pemerintah memang membatasi kepemilikan populasi ayam petelur milik integrator. Tak boleh lebih dari dua persen populasi ayam petelur nasional.

Namun, kata Suroto, peternak rakyat meyakini kepemilikan populasi ayam oleh integrator jauh melebihi batas maksimal dua persen tersebut.

"Pemerintah membiarkan peternak rakyat bersaing di pasar melawan raksasa-raksasa usaha ini, integrator dan juga peternak skala besar," ujarnya.

Sejak situasi sulit selama lebih dari satu tahun terakhir, kata Suroto, peternak rakyat di Blitar telah kehilangan populasi ayam mereka paling sedikit 40 persen karena tak mampu menghadapi persaingan usaha yang keras dan fluktuasi harga.

Ia mengakui, terdapat faktor penurunan daya beli masyarakat. Selain itu, ada kelebihan pasokan telur.

"Tapi sampai hari ini kami belum melihat keberpihakan pemerintah. Dan kami masih menaruh harapan kepada Pak Jokowi. Kami percaya persoalan peternak rakyat hanya dapat diselesaikan oleh Pak Presiden, bukan menteri apalagi dirjen," tegasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/02/18/172607478/berulang-kali-kami-minta-perlindungan-usaha-ke-pemerintah-sampai-hari-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke