SURABAYA, KOMPAS.com- Pandangan Dandik Katjasungkana (52) menerawang ketika mengingat masa-masa perkuliahannya di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, pada tahun 1998.
Dandik menghela napas ketika merasakan kembali rasa kehilangannya terhadap teman serta sang adik tingkat. Mereka adalah aktivis 1998, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah.
"Sudah 25 tahun ya," kata Dandik yang kala itu duduk di depan Perpustakaan Medayu Agung Surabaya, Jawa Timur, Kamis (11/5/2023).
Baca juga: Ayah Aktivis 98 Petrus Bima Anugrah: Kalau Dia Dipanggil Tuhan, Selamat Jalan Anakku...
Pria 52 tahun itu kemudian menceritakan pertemuannya dengan Herman, di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair.
Bedanya, Dandik mengambil Studi Sosiologi, sedangkan kawannya Ilmu Politik.
"Pertama kali aku kenal Herman sejak masuk kuliah, setelah masa penerimaan mahasiswa baru tahun 1990," jelas pria yang juga merupakan Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Jawa Timur tersebut.
Baca juga: 25 Tahun Reformasi, Ketimpangan Masih Jadi Isu Terkini
Pertemanan mereka semakin erat. Herman dan Dandik memiliki kegemaran yang sama: duduk di halaman Unair, menghabiskan waktu bercanda dengan teman seangkatan.
Perbincangan itu, kata Dandik, semakin melebar.
Mereka mulai membahas sistem demokrasi, kesejahteraan masyarakat, upah rendah buruh, serta para petani yang kehilangan lahan karena digusur.
Bahkan, Herman tak jarang menceritakan kehidupanya di rumah yang berada di Pulau Bangka, Sumatra Selatan. Sebab, di sana Herman memiliki keluarga yang taat menunaikan ibadah sebagai Muslim.
"Dia pernah cerita, Dik, aku kalau pulang ke Bangka, aku tiap malam salat tahajud, pagi bangun lagi salat subuh, selesai subuh enggak boleh tidur, harus dengerin bapakku ceramah, itu setiap hari," ucap Dandik menirukan kata-kata kawannya.
Baca juga: Ketika Aksi Mahasiswa 1998 di Era Soeharto Dihadapkan dengan Peluru Tajam...
Beberapa waktu kemudian, Dandik dan Herman memutuskan mendirikan organisasi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Surabaya, yang bertempat di Jalan Kedung Seroko.
Selain itu, keduanya juga sempat menjadi bagian dari organisasi Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Partai Rakyat Demokratik (PRD), serta Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
Bahkan, Dandik sempat mendapat kabar, Herman mengikuti aksi bersama aktivis Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Pro Megawati Soekarnoputri, di Surabaya pada 28 Juli 1996.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tunaikan Janji Usut Tuntas Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan 1998
Aksi tersebut merespons meletusnya peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Kudatuli. Yakni ketika kantor DPP PDI, di Jalan Diponegoro, Jakarta, hendak diambil secara paksa.
"Saya dapat kabar, Herman memimpin aksi, lalu di Kebun Binatang Surabaya sejak pagi ratusan orang diadang aparat, dihajar. Herman tidak tertangkap," ujar dia.
Keduanya berpisah ketika Herman ditarik PRD Pusat menjadi pengurus di Jakarta.
Tak lama, pemerintahan Presiden Soeharto menuduh partai itu sebagai dalang di balik Peristiwa Kudatuli.
Dandik semakin tidak mengetahui kabar Herman, setelah pemerintah kala itu melabeli PRD sebagai reinkarnasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Keduanya sama-sama mengasingkan diri agar tidak diculik.
Baca juga: Kerusuhan Mei 1998 di DI Yogyakarta, dari Peristiwa Gejayan hingga Pisowanan Ageng
Ketika itu, Dandik berpindah-pindah tempat mulai dari daerah Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), serta Jakarta. Di sisi lain, dia berpikir Herman berada di Ibu Kota dengan aman.
"Waktu di persembunyian tetap baca berita, hampir setiap hari ada saja teman yang tertangkap, itu situasinya sangat mencekam," jelasnya.
Pria berkacamata tersebut pun harus mengganti identitas aslinya selama bersembunyi.
Beberapa temannya bahkan membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) lain, agar bisa membaur dengan masyarakat.
Dalam persembunyianya, Dandik mendapatkan kabar, Herman turut dalam pengorganisasian yang disebut PRD bawah tanah. Namun kawannya itu menggunakan nama lain.
"Tahun 1996, di tempat persembunyianku di Jakarta aku bertemu Herman, terus aku menyapa 'hei man', tapi dia bilang, 'ssssttt nama ku Sadli bukan Herman'," ceritanya.
Sayangnya, pertemuan kedua kawan lama tersebut hanya berlangsung sekitar 20 menit.
Setelahnya, masing-masing dari mereka berpisah tanpa memberitahu ingin pergi ke mana.
Dandik akhirnya memutuskan kembali ke Surabaya, pada awal Januari 1997. Sebab, penangkapan para aktivis pada masa itu sudah mulai melonggar.
"Pertengahan tahun 1997 Herman ke Surabaya, tiba-tiba dia muncul di rumahku. Waktu itu aku tidur di ruang tamu, siang, hari Minggu, tiba-tiba Herman bangunkan aku," katanya sembari tertawa.