SURABAYA, KOMPAS.com - Tepat hari ini bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November 2022, pelajar SD dan SMP di Surabaya, Jawa Timur, tak lagi dibebankan oleh pekerjaan rumah (PR) dari sekolah.
Peniadaan PR bagi siswa dilakukan Pemerintah Kota Surabaya karena ingin mengedepankan proses pertumbuhan karakter siswa.
Karena tidak ada PR untuk siswa, jam pelajaran di sekolah ditambah. Jika biasanya pelajar SD dan SMP pulang pada pukul 12.00 WIB, mereka harus berada di sekolah hingga pukul 14.00 WIB.
Tambahan waktu belajar selama dua jam itu digunakan untuk pola pembelajaran non akademik. Para siswa akan belajar pola pengembangan melalui bakat-bakat yang dimiliki.
Sekolah memfasilitasi pola pengembangan bakat itu dengan mengasah bakat masing-masing siswa. Di antaranya seperti menari, melukis, mengaji dan lain sebagainya.
Baca juga: Siswa SD-SMP di Surabaya Kini Bebas PR, Konselor Anak: Langkah Tepat
Meski demikian, ada sejumlah wali murid atau orangtua siswa yang tidak sepenuhnya setuju dengan kebijakan peniadaan PR bagi siswa di Surabaya tersebut.
Emawati Rachmi (56), salah satu wali murid siswa SMPN 6 Surabaya mengaku kebijakan tersebut tetap memiliki sisi positif dan sisi negatif.
Sisi positifnya, kata Ema, pembelajaran dilakukan penuh di sekolah dengan penambahan jam pelajaran. Di samping itu, orangtua tetap memperhatikan dan mengarahkan anak untuk memiliki karakter dan pribadi yang unggul.
Namun, sisi negatifnya, terutama bagi orangtua yang kurang peduli dengan perkembangan anaknya, proses belajar di rumah menjadi tidak ada.
"Sebab, saya melihat anak-anak zaman sekarang kurang suka membaca, sedangkan belajar tentang pengetahuan, di luar sekolah, harus dipaksa dulu agar anak-anak menjadi terbiasa dan mencintai buku dan pengetahuan," kata Ema saat dihubungi kepada Kompas.com, Kamis (10/11/2022).
Bagi warga asal Kelurahan Ngagel, Kecamatan Wonokromo itu, PR kepada siswa tetap harus ada meski tidak setiap hari. Karena ia ingin anaknya tetap mau membuka buku dan belajar di rumah.
Menurut dia, PR dari guru di sekolah bisa jadi pemicu awal bagi siswa agar mau belajar di rumah.
"Apalagi, budaya membaca itu sudah tidak ada. Anak-anak itu kalau di rumah, meskipun tidak ada PR, membaca buku, mengulang pembelajaran yang didapat di sekolah itu jarang sekali dilakukan, itu yang saya amati dari anak zaman sekarang. Hanya anak-anak tertentu yang memiliki tekad kuat untuk mau belajar," ujar dia.
Karena itu, anak-anak tetap harus mendapat motivasi agar di rumah tetap mau belajar dengan porsi yang pas.
"Karena kadang-kadang, anak-anak ini kan menganggap ketika sudah tidak ada PR, berarti di rumah sudah tidak harus belajar. Nah, mengubah mindset anak-anak seperti ini yang harus diurus bersama, baik oleh orangtua dan guru," kata dia.