KOMPAS.com - Osob kiwalan alias boso walikan (bahasa terbalik) mungkin saat ini bisa kita dengar di sejumlah daerah, seperti Atrakaj (Jakarta) atau Ayabarus (Surabaya).
Akan tetapi, banyak orang meyakini, Ngalam (Malang), Jawa Timur, adalah tempat kelahiran bahasa terbalik atau balikan ini.
Bahkan sampai saat ini, masih banyak warga Malang yang menggunakan kosa kata dari bahasa walikan dalam percakapan sehari-hari.
Pakar bahasa dari Universitas Negeri Malang (UM), Imam Agus Basuki, dalam wawancaranya dengan Kompas.com pada Kamis (22/10/2009), mengatakan bahwa bahasa Malang memang sangat unik karena memiliki dialek yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya.
Baca juga: Saat Bahasa Sunda Menggema di Berlinale Film Festival...
"Apalagi kalau kita bandingkan dengan Bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Jawa Tengah, atau Jawa Timur sendiri. Dialek Malang ini memiliki ciri khas dan sangat berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya," kata Imam.
Dia menjelaskan, bahasa Jawa dialek Malang unik dan kerap sulit dimengerti oleh orang dari daerah lainnya karena tidak terstruktur dan tidak mengikuti kaidah umum.
Dialek itu pun kini bukan hanya sebatas alat komunikasi, tapi, Imam menuturkan, juga telah menjadi identitas bagi masyarakat Malang.
Selain persoalan dialek, Imam menambahkan, Malang pun memiliki bahasa walikan yang kerap digunakan dalam lingkup yang lebih kecil.
Baca juga: 11 Bahasa Daerah di NTT Disebut Terancam Punah
Dia mengungkapkan, bahasa walikan tak mudah dimengerti oleh orang yang berasal dari luar Malang, bahkan tak sedikit warga asli yang masih kesulitan memahami bahasa ini dalam pergaulan sehari-hari.
Bukan hanya bahasa Jawa yang diwalik (dibalik), tapi kata dalam bahasa Indonesia pun juga bisa diputar susunan hurufnya, seperti kadit niam (tidak main) atau ayas (saya).
"Bahasa Malangan ini juga tidak hanya sebatas dibalik-balik saja, tapi juga ada kata yang memang khas dan hanya dipahami oleh komunitas tertentu di Malang," terangnya.
Misalnya, Imam mencotohkan, "ojir" (uang), "idrek" (kerja), "ebes" (bapak atau ayah), "memes" (ibu).
Semua kata tersebut, menurut Imam, tidak dikenal, baik dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia.
Baca juga: Belajar Bahasa Korea di Desa Pedawa Buleleng, Peserta Bayar Pakai Sampah Plastik
"Bahasa walikan Malangan ini hanya digunakan oleh komunitas tertentu terutama para ’penggila’ bola (Aremania)," ucap Imam.
"Percakapan anak-anak muda sehingga bisa dikatakan sebagai ’bahasa gaul'. Berbeda dengan Bahasa Jawa dialek Malang yang digunakan menyeluruh oleh hampir semua lapisan masyarakat asli Malang," imbuhnya.